Abdul Latief: HIPMI Harus Jadi Katalis Kelahiran Kelas Menengah Pengusaha Indonesia
10 Juni 2025 10:59 WIB
Yudi Samadi
.jpg)
Photo: Abdul Latief, Pengusaha, salah satu Tokoh Pendiri HIPMI (source: facebook BPP HIPMI)
Sonora.co.id, Jakarta – Dalam peringatan Hari Lahir Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke-53 yang jatuh pada 10 Juni 2025, pendiri HIPMI Abdul Latief menegaskan pentingnya peran HIPMI dalam mewujudkan cita-cita ekonomi bangsa. Ia menyampaikan bahwa perjuangan para “pengusaha pejuang dan pejuang pengusaha” belum usai. “Kita belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam bidang ekonomi. Perjuangan kita masih panjang,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Abdul Latief juga mengapresiasi penetapan Hari Kewirausahaan Indonesia oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden. Ia menyebut bahwa HIPMI sejak awal diniatkan menjadi wadah lahirnya entrepreneur nasionalis yang turut mengisi kemerdekaan. Namun, ia mengakui, Indonesia masih kekurangan pelaku usaha yang menjadi motor utama penggerak ekonomi rakyat.
Ia menyoroti rendahnya rasio pengusaha di Indonesia yang baru sekitar 3 persen dari jumlah penduduk, dengan mayoritas merupakan pelaku usaha kecil. Padahal, menurutnya, negara bisa menjadi maju bila memiliki rasio pengusaha antara 12–14 persen. “Cita-cita suci ini memang tidak mudah, tapi kita tidak boleh mengeluh, apalagi menyerah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Abdul Latief mengungkapkan bahwa struktur kelas menengah di Indonesia belum ideal. Saat ini, masyarakat kelas menengah hanya sekitar 17 persen, sementara idealnya di atas 50 persen. Hal ini menciptakan ketimpangan serius dalam struktur sosial dan ekonomi. “Masyarakat umum dan pelaku bisnis berada dalam kondisi yang rapuh,” tambahnya.
Mengenai pembinaan UMKM, ia mendorong pemerintah untuk mengevaluasi format yang ada. Menurutnya, penggabungan pembinaan pengusaha kecil dan menengah justru membuat pengusaha menengah sulit berkembang. Ia menekankan pentingnya pemisahan pendekatan, agar tidak terjadi degradasi pelaku usaha menengah dalam kebijakan yang seragam.
“Pembinaan pengusaha menengah harus dalam format khusus. Harus ada affirmative program. Jangan disatukan dengan skema usaha kecil, karena karakteristik dan tantangannya berbeda,” jelas Abdul Latief. Ia menyebut bahwa usaha kecil pun sangat beragam, mulai dari industri rumah tangga, industri kecil, hingga kerajinan rakyat.
Sebagai penutup, Abdul Latief mengajak kader HIPMI untuk terus belajar dan menguasai teknologi. Ia memperkenalkan filosofi kemajuan HIPMI melalui pendekatan “Development Programme is Educational Programme.” Ia juga mendorong metode “ATM: Amati, Tiru, dan Modifikasi” dalam berwirausaha. “Jangan pernah menyerah. Kalau jatuh, walau sakit, harus merangkak dan cepat bangkit,” pungkasnya. (YDS)
Abdul Latief juga mengapresiasi penetapan Hari Kewirausahaan Indonesia oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden. Ia menyebut bahwa HIPMI sejak awal diniatkan menjadi wadah lahirnya entrepreneur nasionalis yang turut mengisi kemerdekaan. Namun, ia mengakui, Indonesia masih kekurangan pelaku usaha yang menjadi motor utama penggerak ekonomi rakyat.
Ia menyoroti rendahnya rasio pengusaha di Indonesia yang baru sekitar 3 persen dari jumlah penduduk, dengan mayoritas merupakan pelaku usaha kecil. Padahal, menurutnya, negara bisa menjadi maju bila memiliki rasio pengusaha antara 12–14 persen. “Cita-cita suci ini memang tidak mudah, tapi kita tidak boleh mengeluh, apalagi menyerah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Abdul Latief mengungkapkan bahwa struktur kelas menengah di Indonesia belum ideal. Saat ini, masyarakat kelas menengah hanya sekitar 17 persen, sementara idealnya di atas 50 persen. Hal ini menciptakan ketimpangan serius dalam struktur sosial dan ekonomi. “Masyarakat umum dan pelaku bisnis berada dalam kondisi yang rapuh,” tambahnya.
Mengenai pembinaan UMKM, ia mendorong pemerintah untuk mengevaluasi format yang ada. Menurutnya, penggabungan pembinaan pengusaha kecil dan menengah justru membuat pengusaha menengah sulit berkembang. Ia menekankan pentingnya pemisahan pendekatan, agar tidak terjadi degradasi pelaku usaha menengah dalam kebijakan yang seragam.
“Pembinaan pengusaha menengah harus dalam format khusus. Harus ada affirmative program. Jangan disatukan dengan skema usaha kecil, karena karakteristik dan tantangannya berbeda,” jelas Abdul Latief. Ia menyebut bahwa usaha kecil pun sangat beragam, mulai dari industri rumah tangga, industri kecil, hingga kerajinan rakyat.
Sebagai penutup, Abdul Latief mengajak kader HIPMI untuk terus belajar dan menguasai teknologi. Ia memperkenalkan filosofi kemajuan HIPMI melalui pendekatan “Development Programme is Educational Programme.” Ia juga mendorong metode “ATM: Amati, Tiru, dan Modifikasi” dalam berwirausaha. “Jangan pernah menyerah. Kalau jatuh, walau sakit, harus merangkak dan cepat bangkit,” pungkasnya. (YDS)
News
View MoreOur Services

Sonora Education And Talent Management
Empowering Talent Development & Soft Skills Training.

Research Solution
Your Research Solution for Comprehensive Coverage, Reliable Sources, and Diverse Perspectives