Putus Mata Rantai Kekerasan Anak
02 Oktober 2024 14:01 WIB
Yudi Samadi
Photo: Republika/Putra M. Akbar
Jakarta, sonora.co.id, Federasi Serikat Guru Indonesia
(FSGI) mencatat tingginya kasus kekerasan di satuan pendidikan selama periode
Januari – September 2024. Dalam periode tersebut ada diperoleh laporan ada 36
kasus kekerasan, baik fisik, seksual, psikis dan kebijakan yang mengandung kekerasan.
Dari kasus-kasus tersebut beberapa di antaranya masuk kategori berat yang
melibatkan peserta didik hingga terindikasi pidana. Total korban yang dari kasus
kekerasan tersebut mencapai 144 peserta didik. Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti,
dalam kesempatan wawancara dengan Radio Sonora pada hari selasa, 1 Oktober 2024
mengungkapkan kekerasan di sekolah itu sudah lama terjadi bahkan sudah sejak berpuluh tahun lalu. “Cuma dulu itu kan tidak ada Undang-Undang Perlindungan Anak,
sehingga orang melakukan itu yang tidak ada masalah. Lalu orang tua pun
melakukan hal yang sama, bahkan kalau anaknya dipukul di sekolah, kemudian
pulang, ngadu, malah tambah dipukul, kan begitu. Jadi semuanya dengan
menggunakan kekerasan” Ungkap Retno.
Namun sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak, maka anak-anak di Indonesia wajib dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan yang kemudian dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan di negara kita. Retno menambahkan ada beberapa faktor yang membuat kasus kekerasan pada anak dan pelajar kian banyak terungkap. Pertama, kanal-kanal pengaduan yang ada sekarang sudah semakin banyak. Kedua, semakin kuatnya kesadaran bahwa kekerasan pada anak harus dilaporkan. Ketiga Pendidikan keluarga semakin menempatkan pengasuhan anak yang anti kekerasan.Pengasuhan yang negatif dan penuh kekerasan akan berdampak buruk pada pembentukan karakter anak. Anak yang biasa dicaci maki, dipukul, dihina, dan mendapat perlakuan keras lainnya cenderung akan melakukan kekerasan pada anak lainnya yang dianggap lebih lemah sehingga korban-baru akan terus bermunculan. Siklus buruk dan mata rantai kekerasan inilah yang harus diputus.
Dalam Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan Pendidikan sejatinya telah memberikan upaya perlindungan kepada peserta didik di sekolah dari tindakan kekerasan. Regulasi ini mengharuskan setiap sekolah membentuk tim Penanganan dan pencegahan kekerasan. Tujuannya adalah memberikan penanganan terbaik demi kepentingan anak bukan semata-mata untuk kepentingan dan reputasi sekolah. Sekolah, tenaga pendidik maupun orang tua tidak juga dibenarkan melakukan kekerasan kepada anak dan peserta didik atas nama proses pendisiplinan. Demi memutus mata rantai kekerasan pada anak ini, beberapa hal mendesak segera dilakukan. Pertama, pandangan yang menormalisasi kekerasan pada anak harus ditiadakan. Ketika anak terus-menerus mengalami dampak pertama sebenarnya dia menormalisasi kekerasan. “Dia udah biasa ngeliat. Lama-lama dia anggap normal. Dan ketika menormalisasi itu bahaya banget. Karena anak-anak yang menormalisasi kekerasan lama-lama ditingkatkan” Jelas Retno. Hal lain, yang penting dilakukan adalah pemulihan bagi para korban maupun pelaku kekerasan yang masih anak. Pemulihan dan pendampingan psikologi sangat penting. Ketika korban kemudian disembuhkan secara psikologi, dia sebenarnya bisa normal kembali seperti dahulu kala. Seperti sebelum dia mendapatkan kekerasan. Sehingga, dia tidak menjadi pelaku kekerasan.
Namun sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak, maka anak-anak di Indonesia wajib dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan yang kemudian dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan di negara kita. Retno menambahkan ada beberapa faktor yang membuat kasus kekerasan pada anak dan pelajar kian banyak terungkap. Pertama, kanal-kanal pengaduan yang ada sekarang sudah semakin banyak. Kedua, semakin kuatnya kesadaran bahwa kekerasan pada anak harus dilaporkan. Ketiga Pendidikan keluarga semakin menempatkan pengasuhan anak yang anti kekerasan.Pengasuhan yang negatif dan penuh kekerasan akan berdampak buruk pada pembentukan karakter anak. Anak yang biasa dicaci maki, dipukul, dihina, dan mendapat perlakuan keras lainnya cenderung akan melakukan kekerasan pada anak lainnya yang dianggap lebih lemah sehingga korban-baru akan terus bermunculan. Siklus buruk dan mata rantai kekerasan inilah yang harus diputus.
Dalam Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan Pendidikan sejatinya telah memberikan upaya perlindungan kepada peserta didik di sekolah dari tindakan kekerasan. Regulasi ini mengharuskan setiap sekolah membentuk tim Penanganan dan pencegahan kekerasan. Tujuannya adalah memberikan penanganan terbaik demi kepentingan anak bukan semata-mata untuk kepentingan dan reputasi sekolah. Sekolah, tenaga pendidik maupun orang tua tidak juga dibenarkan melakukan kekerasan kepada anak dan peserta didik atas nama proses pendisiplinan. Demi memutus mata rantai kekerasan pada anak ini, beberapa hal mendesak segera dilakukan. Pertama, pandangan yang menormalisasi kekerasan pada anak harus ditiadakan. Ketika anak terus-menerus mengalami dampak pertama sebenarnya dia menormalisasi kekerasan. “Dia udah biasa ngeliat. Lama-lama dia anggap normal. Dan ketika menormalisasi itu bahaya banget. Karena anak-anak yang menormalisasi kekerasan lama-lama ditingkatkan” Jelas Retno. Hal lain, yang penting dilakukan adalah pemulihan bagi para korban maupun pelaku kekerasan yang masih anak. Pemulihan dan pendampingan psikologi sangat penting. Ketika korban kemudian disembuhkan secara psikologi, dia sebenarnya bisa normal kembali seperti dahulu kala. Seperti sebelum dia mendapatkan kekerasan. Sehingga, dia tidak menjadi pelaku kekerasan.
News
View MoreOur Services
Sonora Education And Talent Management
Empowering Talent Development & Soft Skills Training.
Research Solution
Your Research Solution for Comprehensive Coverage, Reliable Sources, and Diverse Perspectives